Kamis, 25 Desember 2014

hukum taklifi, hukum wad'i, mahkum fih dan mahkum alaih




MAKALAH
 “ Hukum Taklifi, Hukum Wadh’I , Mahkum Fih dan Mahkum Alaih “
Di ajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih

188141_117721848303028_5627721_n.jpg

Dosen Pengampu : Abdul Syahid , .S.Pd.I , M.A .
Di Susun Oleh : PAI / III / D
Kelompok VI :
1.     Siska Ajima
2.     Leni Aprilina
3.     Lisa Wahyuni
4.     Anisa


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
AULIAURRASYIDIN
TEMBILAHAN
TAHUN PELAJARAN 2014 / 2015
Kata Pengantar

Alhamdulillah, puji syukur penulis sampaikan kehadirat ALLAH SWT karna atas limpahan rahmat dan karunianya penulis dapat menyelesaikan makalah ini, karna tanpa rahmat darinya mustahil penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
          Makalah ini di buat untuk memenuhi tugas mata kuliah ushul fiqh. Selama penyusunan makalAh ini, penulis mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini.
          Penulis menyadari bahwa sebagai manusia yang tidak pernah lepas dari kesalahan tentunya dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu,       saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis butuhkan demi kesempurnaan penyusunan makalh ini. Dan penulis berharap semoga makalah ini dapat member manfaat bagi penulis dan pembaca.
                                               
      Tembilahan, 13 November 2014


                   Kelompok VI



Daftar isi

Kata Pengantar …………………………………………………………………… i
Daftar isi …………………………………………………………………………. ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ………………………………………………………. 1
B.     Rumusan Masalah …………………………………………………… 1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Hukum taklifi ………………………………………………………... 2
B.     Hukum Wadh’I ……………………………………………………… 5
C.     Mahkum Fih dan Mahkum Alaih …………………………………… 7
BAB III PENUTUP
            Kesimpulan …………………………………………………………….... 9
Daftar Pustaka                                                                                                        10









BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Hukum yang diturunkan oleh Allah SWT kepada kita, tidak lain kecuali untuk kemaslahatan kita baik di dunia maupun di akhirat kelak. Keselamatan tersebut akan dapat kita peroleh jika kita mau mentaati hukum-hukum Allah secara konsekuen. Jika kita perhatikan secara cermat, maka hukum-hukum Allah itu yang harus kita taati ada yang bersifat perintah tegas, yaitu tuntutan untuk dikerjakan oleh kita secara tegas dan pasti yang disebut dengan hukum wajib seperti solat dan puasa.
 Ada kalanya perintah itu bersifat tidak tegas yaitu tuntutan untuk dikerjakan tapi sifatnya tidak harus dan mesti seperti sholat sunnah. Ada kalanya perinta itu berupa tuntutan untuk meninggalkan pekerjaan secara pasti yang disebut dengan haram seperti berzinah. Dan ada kalanya perintah itu berupa tuntutan untuk meniggalkan pekerjaan itu secara tidak paasti artinya tidak harus ditinggalkan tapi meninggalkannya dipandang lebih baik seperti makan jengkol dan pete. Dan ada kalanya perintah Allah itu bersifat pilihan artinya seseorang diberikan keleluasaan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan seperti makan dan minum. Untuk lebih jelasnya marilah kita lihat pembahasan berikut ini.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang di maksud hukum Taklifi ?
2.      Apakah yang di maksud hukum Wadh’I ?
3.      Apakah yang pengertian mahkum fih ?
4.      Apa pengertian Mahkum ‘alaih ?








BAB II
HUKUM TAKLIFI, DAN HUKUM WADH’I, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ‘ALAIH

A.    HUKUM TAKLIFI
1.      Pengertian
Hukum taklifi adalah hukum yang menghendaki dilakukannya suatu perbuatan oleh mukallaf atau melarang mengerjakannya atau disuru memilih antara melakukan atau meninggalkannya. Untuk lebih jelasnya maka dapat kita lihat contoh-contohnya sebagai berikut:
Ø  Contohnya hukum taklifi yang menuntut kepada mukallaf untuk mengerjakannya:
Berpuasa di bulan Ramadhan. Dilihat QS.Al­-Baqarah 2/ 183)





Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa. Sebagai mana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

Ø  Contoh hukum taklifi yang dihendaki untuk ditinggalkan oleh mukallaf:
Makan bangkai, darah dan daging babi. Lihat Q.S.Al-Maidah (5) : 3



Artinya: “ Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, dan daging babi” (Q.S. Al-Maidah: 3)

Ø  Contoh hukum taklifi yang boleh bagi si mukallaf untuk melihat antara mengerjakan atau meninggalkan:
Bertebaran atau tidak bertebaran setelah melakukan sholat Jumu’at. Lihat Q.S. Al-Jumu’ah (62) : 10



Artinya: “ apabila solat telah kamu lakukan maka bertebaranlah kamu dimuka bumi” (Q.S. Al-Jumu’ah: 10

2.      Pembagian hukm Taklifi
Sebagai mana pembahasan sebelumnya, kita telah mengetahui bahwa pengertian hukum taklifi ialah hukum yang menghendaki dilakukannya suatu perbuatan oleh mukallaf atau melarang mengerjakannya atau disuruh memilih antara melakukan atau meninggalkannya. 
Para ulama ushul fiqh membagi hukum taklifi menjadi lima macam:
A.   Wajib
a.      Pengertian wajib
            Defenisi wajib menurut syara’ adalah,
(sesuatu yang diperintahkan oleh Allah agar dikerjakan secara pasti). Dengan ketentuan perintah itu harus dilakukan oleh mukallaf sesuai dengan petunjuk yang telah ditentukan. Konsekuensi dari hukum wajib ini akan mendatangkan dosa jika ditinggalkan.
b.      pembagian hukum wajib
1.     Pertama, pembagian wajib dilihat dari segi waktu pleaksaannya
      Dilihat dari segi pelaksanaanya, hukum wajib di bagi menjadi dua yaitu, pertama kewajiban yang waktu pelaksanaanya terikat oleh waktu dan kedua kewajiban yang tidak terikat oleh waktu
2.     Kedua, pembagian wajib dari segi mukallaf sebagai pelaksana
      Dilihat dari segi ini maka wajib terbagi menjadi dua, yaitu wajib ain dan wajib kifayah. Yang dimaksud wajib ain ialah kewajiban yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk dikerjakan oleh setiap mukallaf secara individu. Sedangkan wajib kifayah adalah kewajiban yang diperintahkan oleh Allah SWT. Dimana cukup dikerjakan oleh seseorang atau sekelompok orang saja, tidak semua orang harus mengerjakannya.
3.     Ketiga, pembagian wajib dilihat dari ukuran sesuatu yang diwajibkan
Dilihat dari segi ukuran sesuatu yang diwajibkan maka kewajiban terbagi menjadi dua yaitu muhaddad (dibatasi ukurannya) dan gairu muhaddad (tidak dibatasi). yang dimaksud dengan wajib muhaddad ialah kewajiban yang ukurannya sudah diketahui dengan jelas. Contohnya adalah sholat lima waktu. Sedangkan gairu muhaddad ialah kewajiban yang agama tidak menentukan atau membatasi ukurannya. Ukuran itu diserahkan kepada orang yang akan melakukan kewajiban tersebut contohnya bersadaqah di jalan Allah.
4.    Keempat. Keaajiban yang dilihat dari kesempatan bagi mukallaf untuk melakukannya.
      Dilihat dari segi ini, kewajiban terbagi menjadi dua yaitu muayyam (tertentu) dan mukhayyar (boleh memilih). Yang dimaksd muayyam ialah kewajiban yang di jawab oleh Allah SWT kepada mukallaf untuk melakukan nya tanpa ada kesempatan untuk memilih atau meninggalkannya. Sedangkan kewajiban yang mukhayyar ialah kewajiban yang harus di lakukan oleh mukallaf untuk melakukannya dengan memilih diantara beberapa pilihan. Jika ia telah melakukan salah satu pilihan itu maka gugurlah sudah kewajibannya. Contohnya adalah membayar kafarat (denda tebusan).
B.   Sunnah
1.      Pengertian sunnah
Yang dimaksud dengan sunnah ialah perintah yang datang dari Allah untuk dilakukan oleh mukallaf secara tidak tegas atau harus. Atau dengan kata lain perintah yang tidak sampai derajat pahala dan mendapat siksa jika ditinggalkan.
2.      Tingkatan sunnah
                 Tingkatan sunnah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
1)   Sunnah muakkad (sunnah yang kuat). Yaitu sunnah yang selalu ditekuni oleh nabi dan nabi tidak meninggalkannya kecuali sekali atau dua kali yang menunjukkan hal itu bukan suatu kewajiban.
2)   Sunnah ghairu muakkad (tidak kuat), yaitu sunnah yang jika dikerjakan akan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapat siksa juga tidak tercela. Yang dimaksud ghairu muakkad ini adalah semua perbuatan yang tidak ditekuni oleh rasul dalam mengerjakannya. Nabi hanya melakukannya sesekali saja dan terkadang tidak mengerjakannya.
3)   Sunnah tambahan (zaidah). Yang dimaksud dengan sunnah tambahan ini ialah, yaitu sesuatu yang dianggap sebagai pelengkap bagi mukallaf. Dan sunnah ini tidak sejajar dengan dua sunnah terdahulu. Yang dimaksud sunnah zaidah ini ialah kebiasaan rasul dalam segala perbuatannya yang berupa kebiasaan rasul sebagai manusia biasa.

C.  Haram
1.        Pengertian haram       


( tututan yang tegas dari Allah SWT untuk tidak dikerjakan secara pasti). Jadi tidak ada tawar menawar kecuali harus ditinggalkan . konsekuensi dari hukum haram ini seseorang yang mengerjakan akan mendapat dosa dan kehinaan dan bagi yang meninggalkannya akan mendapat pahala dan kemuliaan.
2.    Pembagian haram
                        Harta dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu :
Pertama, haram azasi (asal) yaitu hukum yang ditegaskan oleh Allah bahwa hukum itu haram sejak dari permulaan atau haran secara zat (realitas/esensial) karena didalamnya terkandung kerusakan dan bahaya terhadap agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Maka keharaman itu datang dejak awal permulaan atas zat pekerjaan itu sendiri. Contoh berzina, makan bangkai, minum arak, dsb.
Kedua, haram disebabkan sesuatu yang lain. Maksudnya hukum asal sesuatu itu tadinya bukan haram. Tapi mungkin berupa hukum wajib, sunnah dan mubah. Tapi hukum itu dibarengi oleh sesuatu yang baru yang hukumnya haram seperti sholat dengan pakaian hasil mencuri,jual beli yang didalamnya ada unsur tipuan, kawin dengan maksud hanya ingin menghalalkan istri bagi suami yang telah mentalaknya tiga kali, puasa geni (dari siang sampai malam).

D.  makruh
Pengertian nya ialah sesuatu yang diperintahkan oleh Allah agar seseorang tidak mengerjakan sesuatu, tapi perintah untuk tidak mengerjakan sesuatu itu sifatnya tidak pasti atau tegas atau dengan perkataan lain larangan yang tidak sampai kederajat haram.
E.  Mubah
Pengertiannya yaitu sesuatu yang oleh Allah diperbolehkan bagi seseorang untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Atau dengan kata lain allah tidak menyuruh dan melarang. Tidak berpahala jika dikerjakan dan tidak berdosa jika ditinggalkan. 

B.     HUKUM WADH’I
1.      Pengertian
      Yang dimaksud dengan hukum wadh’I ialah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai seatu sebab adanya yang lain, atau syarat bagi sesuatu yang lain atau sebagai sesuatu yang lain.
·         Contoh hukum yang menjadikan sesuatu sebab adanya yang lain: kewajiban sholat menjadi sebab kewajiban mengambil wudhu.
·         Contoh hukum yang menjadikan sesuatu sebagai syarat adanya yang lain : mampu melakukan perjalanan kebaitullah merupakan syarat adanya kewajiban haji bagi seseorang.
·         Contoh hukuman yang menjadikan seseatu sebagi penghalang adanya yang lain seperti anak yang membunuh orang tua menjadikan sebab penghalangnya anak mendapatkan warisan.
2.      Pembagian hukum wadh’i
            Hukum wadh’I ialah hukum yang menghendaki adanya sesuatu itu sebagai sebab  bagi sesuatu yang lain atau sebagai syarat atau sebagai penghalang atau sebagai sesuatu yang memperkenankan keringanan (rukhsah)natau sebagai pengganti hukum ketetapan pertama (azimah) atau sebagai yang shahih dan tidak shahih.
      Secara lebih jelas penjelasan tentang apa itu sebab, syarat, penghalang,rukhsah, azimah, shahih dan butlan dapat dilihat dalam uraian berikut ini:
1.    sebab
      sebab ialah sesuatu yang oleh syar’i (pembuat hukum) dijadikan sebagai konsekuensi adanya sesuatu yang lain yang mwnjadi akibatnya. Dan tidak adanya sebab menjadikan sesuatu yang lain itu pun tidak ada. Dengan demikian dapat dikatakan ini adalah hukun sebab akibat. Yang memastikan adanya sebab pasti ada akibat.
      Pembagian sebab:
1)      sebab yang bukan dari perbuatan mukallaf. Sebab ini merupakan sesuatu yang dijadikan oleh Allah sebagai pertanda adanya hukum.contohnya masuk waktu merupakan sebab waktu datangnya sholat.
2)      Sebab yang ditimbulkan dari perbuatan mukallaf. Seperti pembunahan yang dilakukan oleh mukallaf dengan sengaja merupakan sebab adanya hukum qishos.
2.    Syarat
     Syarat ialah ada dan tidak adanya hukum tergantung kepada ada dan tidak adanya sesuatu itu. Artinya adanya sesuatu itu dapat menimbulkak sesuatu (atsar) kepada ada dan tidak adanya hukum. Jadi syarat dapat dikatakan sebagai sesuatuyang keluar dari hakikat yang di syarati (masyruth) yang mengakibatkan tidak adanya masyruth karna tidak adanya syarat. Tapi adanya masyruth tidak di syaratakan adanya syarat contoh : wudhu adalah syarat sahnya sholat, tanpa wudhu tidak sah mendirikan sholat, tapi tidak berarti adanya wudhu menetapkan adanya sholat.
            Pembagian syarat
a.       Syarat aqly (                                  )
Seperi kehidupan menjadi syarat untuk dapat mengetahui. Adanya paham menjadi syarat adanya taklif atau sebab hokum.
b.      Syarat ‘adly (                                 )
Yaitu syarat yang di dasarkan atas kebiasaan yang berlaku seperti bersentuhnya api dengan barang yang terbakar merupakan syarat berlangsungnya kebakaran.
c.       Syarat syari’ (                                )
Yaitu syarat yang di tetapkan berdasarkan syara’ seperti sucinya badan menjadi syarat untuk sholat. Nisab menjadi syarat wajibnya sakat. Bentuk yang ke tiga inilah yang menjadi pembahasan hokum wada’i.
3.    Penghalang (mani’)
                              Secara bahasa mani’ (              ) artinya penghalang. Dalam istilah ushul fiqh mani’ berarti, yang dimaksud dengan penghalang (mani’) dalam hukum ialah sesuatu yang dengan wujudnya dapat meniadakan hukum atau membatalkannya. Timbulnya mani’ini ketika sebab dan syarat itu telah tampak lebih jelas.
4.    Rukhsah dan azimah
                        Rukhsah adalah keringanan hukum yang diberikan oleh Allah kepada orang mukallaf dalam kondisi-kondisi tertentu yang menghendaki adanya keringanan itu. Sedangkan azimah ialah hukum yang berlaku secara umum yang telah disyariatkan oleh Allah sejak semula yang tidak ada kekhususan lantaran kondisi.
      Macam- macam rukhsah
a.                   Menggugurkan kewajiban ketika mendapatkan uzur (kesulitan untuk menunaikannya). Dengan rukhsah ini hukum azimah (hukum yang umum) tidak berlaku lagi.
b.                  Pengecualian. Contoh jual beli dengan salam (menjual benda yang barangnya tidak tampak) Waktu akad jual beli. Tapi jual beli ini sudah menjadi kebiasaan (urf). Hal ini diperbolehkan karena sudah menjadi kebiasaan.
c.                   Penghapusan (nasakh). Yaiitu hukum-hukum Allah yang berlaku ummat sebelum kita tapi tidak berlaku lagi bagi kita.
5.    Al- shihhah dan al- buthlan
          Perbuatan yang dilakukan oleh mukhallaf bias dihukumi sah atau batal. Jika perbuatan itu telah sesuai dengan tuntutan syariat dan telah sempurna rukum dan syaratnya maka perbuatan tersebut telah dapat dihukiumi sah (benar) oleh hukum syariat. Tapi jika perbuatan itu tidak sesuai dengan tuntutan syari’at dan tidak disempurnakan syarat dan rukunnya maka perbuatan itu dihukumi batal menurut hukum syariat.

C.    MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIHI
1.      Mahkum fih
        Yang dimaksud dengan mahkum fih ialah perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum syara’. Contoh kewajiban memenuhi janji.
               Syarat-syarat perbuatan yang ditaklifkan (dibebankan)
1)      Perbuatan itu benar-benar diketahui oleh mukallaf sehingga ia dapat melakukan perbuatan itu sesuai dengan perintah. Maka berdasarkan syarat ini nash-nash al-Qur’an yang bersifat global (belum jelas) maka tidak wajib untuk mengamalkan hukumnya sebelum ada penjelasan dari rosul. Diketahui secara jelas bahwa hukum itu datang dari orang yang memiliki wewenang untuk memerintah atau orang yang wajib diikuti hukum-hukumannya oleh mukallaf.
2)      Perbuatan yang diperintahkan itu mungkin atau dapat dilakukan oleh mukallaf sesuai dengan kadar kemampuannya. Berdasarkan syarat ini maka tidak sah memberikan beban yang mustahil (diluar kemampuan) mukallaf. Contohnya perintah untuk terbang seperti burung.

2.      Mahkum alaih
               Yang dimaksud dengan mahkum alaih ialah mukallaf yang mendapatkan khitab dari Allah dimana perbuatannya berhubungan dengan hukum syariat.
               Syarat-syarat mukallaf:
1.        Mukallaf dapat memahami dalil taklif  baik itu berupa nash-nash al-Qur’an atau sunnah baik secara langsung maupun melalui perantara. Orang yang tidak mengerti hukum taklifi maka ia tidak dapat melaksanakan dengan benar apa yang diperintahkan kepadanya. Dan alat untuk memahami dalil itu hanyalah dengan akal. Maka orang yang tidak berakal (gila) tidaklah dikatakan mukallaf.
2.        Mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya. Yang dimaksud dengan ahli disini ialah layak atau wajar untuk menerima perintah.
          Keadaan manusia dihubungkandengan kelayakan untuk menerima atau menjalankan hak dan kewajiban dikelompokkan menjadi dua:
1)        Tidak sempurna: dapat menerima hak dan tidak layak baginya kewajiban.
2)        Secara sempurna apabila sudah layak baginya beberapa hak dan layak baginya melakukan kewajiban yaitu orang-orang yang sudah dewasa.











                    

















BAB II
PENUTUP
            Kesimpulan
  Hukum taklifi adalah hukum yang menghendaki dilakukannya suatu perbuatan oleh mukallaf atau melarang mengerjakannya atau disuru memilih antara melakukan atau meninggalkannya. hukum wadh’I ialah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai seatu sebab adanya yang lain, atau syarat bagi sesuatu yang lain atau sebagai sesuatu yang lain. Yang dimaksud dengan mahkum fih ialah perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum syara’. Sedangkan yang dimaksud dengan mahkum alaih ialah mukallaf yang mendapatkan khitab dari Allah dimana perbuatannya berhubungan dengan hukum syariat.

















Daftar Pustaka

            Khallaf, Abdul Wahab . 2000 . Ilmu ushul fiqih ( kaidah-kaidah hokum Islam ) . Jakarta : Grafindo Persada .
            Shidik, Safiudin . 2009. Ushul Fiqih . Jakarta : PT.Intimedia cipta Nusantar .
            Zahra, Muhammad Abu . 1959 . Ushul Fiqih . Beirut : Dar al-Fikr al-Araby .



0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda