hukum taklifi, hukum wad'i, mahkum fih dan mahkum alaih
MAKALAH
“ Hukum Taklifi, Hukum Wadh’I ,
Mahkum Fih dan Mahkum Alaih “
Di ajukan untuk memenuhi Tugas Mata
Kuliah Ushul Fiqih

Dosen Pengampu : Abdul Syahid ,
.S.Pd.I , M.A .
Di Susun Oleh : PAI / III / D
Kelompok VI :
1.
Siska Ajima
2.
Leni Aprilina
3.
Lisa Wahyuni
4.
Anisa
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM
AULIAURRASYIDIN
TEMBILAHAN
TAHUN PELAJARAN
2014 / 2015
Kata Pengantar
Alhamdulillah, puji syukur penulis sampaikan kehadirat ALLAH SWT
karna atas limpahan rahmat dan karunianya penulis dapat menyelesaikan makalah
ini, karna tanpa rahmat darinya mustahil penulis dapat menyelesaikan makalah
ini.
Makalah
ini di buat untuk memenuhi tugas mata kuliah ushul fiqh. Selama penyusunan
makalAh ini, penulis mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak
yang terlibat dalam penyusunan makalah ini.
Penulis
menyadari bahwa sebagai manusia yang tidak pernah lepas dari kesalahan tentunya
dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun
dari semua pihak sangat penulis butuhkan demi kesempurnaan penyusunan makalh
ini. Dan penulis berharap semoga makalah ini dapat member manfaat bagi penulis
dan pembaca.
Tembilahan, 13 November 2014
Kelompok
VI
Daftar isi
Kata
Pengantar …………………………………………………………………… i
Daftar
isi …………………………………………………………………………. ii
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
………………………………………………………. 1
B.
Rumusan Masalah
…………………………………………………… 1
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Hukum taklifi
………………………………………………………... 2
B.
Hukum Wadh’I
……………………………………………………… 5
C.
Mahkum Fih dan
Mahkum Alaih …………………………………… 7
BAB
III PENUTUP
Kesimpulan
…………………………………………………………….... 9
Daftar Pustaka 10
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum yang diturunkan
oleh Allah SWT kepada kita, tidak lain kecuali untuk kemaslahatan kita baik di
dunia maupun di akhirat kelak. Keselamatan tersebut akan dapat kita peroleh
jika kita mau mentaati hukum-hukum Allah secara konsekuen. Jika kita perhatikan
secara cermat, maka hukum-hukum Allah itu yang harus kita taati ada yang
bersifat perintah tegas, yaitu tuntutan untuk dikerjakan oleh kita secara tegas
dan pasti yang disebut dengan hukum wajib seperti solat dan puasa.
Ada kalanya perintah itu bersifat tidak tegas
yaitu tuntutan untuk dikerjakan tapi sifatnya tidak harus dan mesti seperti
sholat sunnah. Ada kalanya perinta itu berupa tuntutan untuk meninggalkan
pekerjaan secara pasti yang disebut dengan haram seperti berzinah. Dan ada
kalanya perintah itu berupa tuntutan untuk meniggalkan pekerjaan itu secara
tidak paasti artinya tidak harus ditinggalkan tapi meninggalkannya dipandang
lebih baik seperti makan jengkol dan pete. Dan ada kalanya perintah Allah itu
bersifat pilihan artinya seseorang diberikan keleluasaan untuk memilih antara
mengerjakan atau meninggalkan seperti makan dan minum. Untuk lebih jelasnya
marilah kita lihat pembahasan berikut ini.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apakah
yang di maksud hukum Taklifi ?
2. Apakah
yang di maksud hukum Wadh’I ?
3. Apakah
yang pengertian mahkum fih ?
4. Apa
pengertian Mahkum ‘alaih ?
BAB II
HUKUM TAKLIFI, DAN HUKUM WADH’I,
MAHKUM FIH DAN MAHKUM ‘ALAIH
A. HUKUM TAKLIFI
1.
Pengertian
Hukum taklifi adalah hukum yang menghendaki
dilakukannya suatu perbuatan oleh mukallaf atau melarang mengerjakannya atau
disuru memilih antara melakukan atau meninggalkannya. Untuk lebih jelasnya maka
dapat kita lihat contoh-contohnya sebagai berikut:
Ø Contohnya
hukum taklifi yang menuntut kepada
mukallaf untuk mengerjakannya:
Berpuasa di bulan
Ramadhan. Dilihat QS.Al-Baqarah 2/ 183)
Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa. Sebagai mana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Ø Contoh
hukum taklifi yang dihendaki untuk ditinggalkan oleh mukallaf:
Makan
bangkai, darah dan daging babi. Lihat Q.S.Al-Maidah (5) : 3
Artinya: “ Diharamkan bagimu
memakan bangkai, darah, dan daging babi” (Q.S. Al-Maidah: 3)
Ø Contoh
hukum taklifi yang boleh bagi si
mukallaf untuk melihat antara mengerjakan atau meninggalkan:
Bertebaran
atau tidak bertebaran setelah melakukan sholat Jumu’at. Lihat Q.S. Al-Jumu’ah
(62) : 10
Artinya:
“ apabila solat telah kamu lakukan maka bertebaranlah kamu dimuka bumi” (Q.S.
Al-Jumu’ah: 10
2.
Pembagian
hukm Taklifi
Sebagai mana pembahasan sebelumnya,
kita telah mengetahui bahwa pengertian hukum taklifi ialah hukum yang menghendaki dilakukannya suatu perbuatan
oleh mukallaf atau melarang mengerjakannya atau disuruh memilih antara
melakukan atau meninggalkannya.
Para ulama ushul fiqh membagi hukum taklifi
menjadi lima macam:
A. Wajib
a.
Pengertian
wajib
Defenisi wajib
menurut syara’ adalah,
(sesuatu yang
diperintahkan oleh Allah agar dikerjakan secara pasti). Dengan ketentuan
perintah itu harus dilakukan oleh mukallaf sesuai dengan petunjuk yang telah
ditentukan. Konsekuensi dari hukum wajib ini akan mendatangkan dosa jika
ditinggalkan.
b. pembagian hukum wajib
1. Pertama,
pembagian
wajib dilihat dari segi waktu
pleaksaannya
Dilihat dari segi pelaksanaanya, hukum
wajib di bagi menjadi dua yaitu, pertama kewajiban yang waktu pelaksanaanya
terikat oleh waktu dan kedua kewajiban yang tidak terikat oleh waktu
2. Kedua,
pembagian
wajib dari segi mukallaf sebagai
pelaksana
Dilihat dari segi ini maka wajib terbagi
menjadi dua, yaitu wajib ain dan wajib kifayah. Yang dimaksud wajib ain
ialah kewajiban yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk dikerjakan oleh setiap
mukallaf secara individu. Sedangkan wajib kifayah adalah kewajiban yang
diperintahkan oleh Allah SWT. Dimana cukup dikerjakan oleh seseorang atau
sekelompok orang saja, tidak semua orang harus mengerjakannya.
3. Ketiga,
pembagian
wajib dilihat dari ukuran sesuatu yang
diwajibkan
Dilihat dari segi ukuran sesuatu yang
diwajibkan maka kewajiban terbagi menjadi dua yaitu muhaddad (dibatasi ukurannya) dan
gairu
muhaddad (tidak dibatasi). yang dimaksud dengan wajib muhaddad ialah
kewajiban yang ukurannya sudah diketahui dengan jelas. Contohnya adalah sholat
lima waktu. Sedangkan gairu muhaddad ialah kewajiban yang agama tidak
menentukan atau membatasi ukurannya. Ukuran itu diserahkan kepada orang yang
akan melakukan kewajiban tersebut contohnya bersadaqah di jalan Allah.
4. Keempat.
Keaajiban
yang dilihat dari kesempatan bagi
mukallaf untuk melakukannya.
Dilihat dari segi ini, kewajiban terbagi
menjadi dua yaitu muayyam (tertentu)
dan mukhayyar (boleh memilih). Yang
dimaksd muayyam ialah kewajiban yang di jawab oleh Allah SWT kepada mukallaf
untuk melakukan nya tanpa ada kesempatan untuk memilih atau meninggalkannya.
Sedangkan kewajiban yang mukhayyar ialah kewajiban yang harus di lakukan oleh
mukallaf untuk melakukannya dengan memilih diantara beberapa pilihan. Jika ia
telah melakukan salah satu pilihan itu maka gugurlah sudah kewajibannya.
Contohnya adalah membayar kafarat (denda tebusan).
B.
Sunnah
1. Pengertian sunnah
Yang
dimaksud dengan sunnah ialah perintah yang datang dari Allah untuk dilakukan
oleh mukallaf secara tidak tegas atau harus. Atau dengan kata lain perintah
yang tidak sampai derajat pahala dan mendapat siksa jika ditinggalkan.
2. Tingkatan sunnah
Tingkatan
sunnah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
1) Sunnah
muakkad (sunnah yang kuat). Yaitu sunnah yang selalu ditekuni oleh nabi dan
nabi tidak meninggalkannya kecuali sekali atau dua kali yang menunjukkan hal
itu bukan suatu kewajiban.
2) Sunnah
ghairu muakkad (tidak kuat), yaitu sunnah yang jika dikerjakan akan mendapat
pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapat siksa juga tidak tercela. Yang
dimaksud ghairu muakkad ini adalah semua perbuatan yang tidak ditekuni oleh
rasul dalam mengerjakannya. Nabi hanya melakukannya sesekali saja dan terkadang
tidak mengerjakannya.
3) Sunnah
tambahan (zaidah). Yang dimaksud dengan sunnah tambahan ini ialah, yaitu
sesuatu yang dianggap sebagai pelengkap bagi mukallaf. Dan sunnah ini tidak
sejajar dengan dua sunnah terdahulu. Yang dimaksud sunnah zaidah ini ialah
kebiasaan rasul dalam segala perbuatannya yang berupa kebiasaan rasul sebagai
manusia biasa.
C. Haram
1.
Pengertian
haram
(
tututan yang tegas dari Allah SWT untuk tidak dikerjakan secara pasti). Jadi
tidak ada tawar menawar kecuali harus ditinggalkan . konsekuensi dari hukum
haram ini seseorang yang mengerjakan akan mendapat dosa dan kehinaan dan bagi
yang meninggalkannya akan mendapat pahala dan kemuliaan.
2. Pembagian haram
Harta dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu :
Pertama,
haram
azasi (asal) yaitu hukum yang ditegaskan oleh Allah bahwa hukum itu haram sejak
dari permulaan atau haran secara zat (realitas/esensial) karena didalamnya
terkandung kerusakan dan bahaya terhadap agama, jiwa, akal, harta dan
keturunan. Maka keharaman itu datang dejak awal permulaan atas zat pekerjaan
itu sendiri. Contoh berzina, makan bangkai, minum arak, dsb.
Kedua,
haram
disebabkan sesuatu yang lain. Maksudnya hukum asal sesuatu itu tadinya bukan
haram. Tapi mungkin berupa hukum wajib, sunnah dan mubah. Tapi hukum itu
dibarengi oleh sesuatu yang baru yang hukumnya haram seperti sholat dengan
pakaian hasil mencuri,jual beli yang didalamnya ada unsur tipuan, kawin dengan
maksud hanya ingin menghalalkan istri bagi suami yang telah mentalaknya tiga
kali, puasa geni (dari siang sampai malam).
D. makruh
Pengertian nya ialah sesuatu yang diperintahkan
oleh Allah agar seseorang tidak mengerjakan sesuatu, tapi perintah untuk tidak
mengerjakan sesuatu itu sifatnya tidak pasti atau tegas atau dengan perkataan
lain larangan yang tidak sampai kederajat haram.
E. Mubah
Pengertiannya yaitu sesuatu yang oleh Allah
diperbolehkan bagi seseorang untuk memilih antara mengerjakan atau
meninggalkan. Atau dengan kata lain allah tidak menyuruh dan melarang. Tidak
berpahala jika dikerjakan dan tidak berdosa jika ditinggalkan.
B.
HUKUM
WADH’I
1. Pengertian
Yang dimaksud dengan
hukum wadh’I ialah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai seatu sebab adanya
yang lain, atau syarat bagi sesuatu yang lain atau sebagai sesuatu yang lain.
·
Contoh hukum yang menjadikan sesuatu
sebab adanya yang lain: kewajiban sholat menjadi sebab kewajiban mengambil
wudhu.
·
Contoh hukum yang menjadikan sesuatu
sebagai syarat adanya yang lain : mampu melakukan perjalanan kebaitullah
merupakan syarat adanya kewajiban haji bagi seseorang.
·
Contoh hukuman yang menjadikan seseatu
sebagi penghalang adanya yang lain seperti anak yang membunuh orang tua
menjadikan sebab penghalangnya anak mendapatkan warisan.
2. Pembagian hukum wadh’i
Hukum wadh’I ialah hukum yang
menghendaki adanya sesuatu itu sebagai sebab
bagi sesuatu yang lain atau sebagai syarat atau sebagai penghalang atau
sebagai sesuatu yang memperkenankan keringanan (rukhsah)natau sebagai pengganti
hukum ketetapan pertama (azimah) atau sebagai yang shahih dan tidak shahih.
Secara lebih jelas penjelasan tentang apa itu sebab, syarat,
penghalang,rukhsah, azimah, shahih
dan butlan dapat dilihat dalam uraian
berikut ini:
1.
sebab
sebab ialah sesuatu yang oleh syar’i (pembuat hukum) dijadikan
sebagai konsekuensi adanya sesuatu yang lain yang mwnjadi akibatnya. Dan tidak
adanya sebab menjadikan sesuatu yang lain itu pun tidak ada. Dengan demikian
dapat dikatakan ini adalah hukun sebab akibat. Yang memastikan adanya sebab
pasti ada akibat.
Pembagian sebab:
1)
sebab yang bukan dari perbuatan
mukallaf. Sebab ini merupakan sesuatu yang dijadikan oleh Allah sebagai
pertanda adanya hukum.contohnya masuk waktu merupakan sebab waktu datangnya
sholat.
2)
Sebab yang ditimbulkan dari perbuatan
mukallaf. Seperti pembunahan yang dilakukan oleh mukallaf dengan sengaja
merupakan sebab adanya hukum qishos.
2. Syarat
Syarat
ialah ada dan tidak adanya hukum tergantung kepada ada dan tidak adanya sesuatu
itu. Artinya adanya sesuatu itu dapat menimbulkak sesuatu (atsar) kepada ada dan tidak adanya hukum. Jadi syarat dapat
dikatakan sebagai sesuatuyang keluar dari hakikat yang di syarati (masyruth)
yang mengakibatkan tidak adanya masyruth karna tidak adanya syarat. Tapi adanya
masyruth tidak di syaratakan adanya syarat contoh : wudhu adalah syarat sahnya
sholat, tanpa wudhu tidak sah mendirikan sholat, tapi tidak berarti adanya
wudhu menetapkan adanya sholat.
Pembagian syarat
a. Syarat
aqly ( )
Seperi kehidupan menjadi syarat untuk dapat
mengetahui. Adanya paham menjadi syarat adanya taklif atau sebab hokum.
b. Syarat
‘adly ( )
Yaitu syarat yang di dasarkan atas kebiasaan yang
berlaku seperti bersentuhnya api dengan barang yang terbakar merupakan syarat
berlangsungnya kebakaran.
c. Syarat
syari’ ( )
Yaitu syarat yang di tetapkan berdasarkan syara’
seperti sucinya badan menjadi syarat untuk sholat. Nisab menjadi syarat
wajibnya sakat. Bentuk yang ke tiga inilah yang menjadi pembahasan hokum
wada’i.
3.
Penghalang (mani’)
Secara
bahasa mani’ ( ) artinya
penghalang. Dalam istilah ushul fiqh mani’ berarti, yang dimaksud dengan
penghalang (mani’) dalam hukum ialah sesuatu yang dengan wujudnya dapat
meniadakan hukum atau membatalkannya. Timbulnya mani’ini ketika sebab dan
syarat itu telah tampak lebih jelas.
4.
Rukhsah dan azimah
Rukhsah
adalah keringanan hukum yang diberikan oleh Allah kepada orang mukallaf dalam
kondisi-kondisi tertentu yang menghendaki adanya keringanan itu. Sedangkan
azimah ialah hukum yang berlaku secara umum yang telah disyariatkan oleh Allah
sejak semula yang tidak ada kekhususan lantaran kondisi.
Macam- macam rukhsah
a.
Menggugurkan kewajiban ketika
mendapatkan uzur (kesulitan untuk menunaikannya). Dengan rukhsah ini hukum
azimah (hukum yang umum) tidak berlaku lagi.
b.
Pengecualian. Contoh jual beli
dengan salam (menjual benda yang barangnya tidak tampak) Waktu akad jual beli.
Tapi jual beli ini sudah menjadi kebiasaan (urf). Hal ini diperbolehkan karena
sudah menjadi kebiasaan.
c.
Penghapusan (nasakh). Yaiitu
hukum-hukum Allah yang berlaku ummat sebelum kita tapi tidak berlaku lagi bagi
kita.
5.
Al- shihhah dan al- buthlan
Perbuatan yang dilakukan oleh mukhallaf bias dihukumi sah atau
batal. Jika perbuatan itu telah sesuai dengan tuntutan syariat dan telah
sempurna rukum dan syaratnya maka perbuatan tersebut telah dapat dihukiumi sah
(benar) oleh hukum syariat. Tapi jika perbuatan itu tidak sesuai dengan
tuntutan syari’at dan tidak disempurnakan syarat dan rukunnya maka perbuatan
itu dihukumi batal menurut hukum syariat.
C. MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIHI
1. Mahkum
fih
Yang
dimaksud dengan mahkum fih ialah
perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum syara’. Contoh kewajiban
memenuhi janji.
Syarat-syarat
perbuatan yang ditaklifkan
(dibebankan)
1) Perbuatan
itu benar-benar diketahui oleh mukallaf sehingga ia dapat melakukan perbuatan
itu sesuai dengan perintah. Maka berdasarkan syarat ini nash-nash al-Qur’an
yang bersifat global (belum jelas) maka tidak wajib untuk mengamalkan hukumnya
sebelum ada penjelasan dari rosul. Diketahui secara jelas bahwa hukum itu
datang dari orang yang memiliki wewenang untuk memerintah atau orang yang wajib
diikuti hukum-hukumannya oleh mukallaf.
2) Perbuatan
yang diperintahkan itu mungkin atau dapat dilakukan oleh mukallaf sesuai dengan
kadar kemampuannya. Berdasarkan syarat ini maka tidak sah memberikan beban yang
mustahil (diluar kemampuan) mukallaf. Contohnya perintah untuk terbang seperti
burung.
2.
Mahkum alaih
Yang
dimaksud dengan mahkum alaih ialah
mukallaf yang mendapatkan khitab dari Allah dimana perbuatannya berhubungan
dengan hukum syariat.
Syarat-syarat
mukallaf:
1.
Mukallaf dapat memahami dalil taklif baik itu berupa nash-nash al-Qur’an atau sunnah
baik secara langsung maupun melalui perantara. Orang yang tidak mengerti hukum taklifi maka ia tidak dapat melaksanakan
dengan benar apa yang diperintahkan kepadanya. Dan alat untuk memahami dalil
itu hanyalah dengan akal. Maka orang yang tidak berakal (gila) tidaklah
dikatakan mukallaf.
2.
Mukallaf adalah orang yang ahli dengan
sesuatu yang dibebankan kepadanya. Yang dimaksud dengan ahli disini ialah layak
atau wajar untuk menerima perintah.
Keadaan
manusia dihubungkandengan kelayakan untuk menerima atau menjalankan hak dan
kewajiban dikelompokkan menjadi dua:
1)
Tidak sempurna: dapat menerima hak dan
tidak layak baginya kewajiban.
2)
Secara sempurna apabila sudah layak
baginya beberapa hak dan layak baginya melakukan kewajiban yaitu orang-orang
yang sudah dewasa.
BAB
II
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum taklifi
adalah hukum yang menghendaki dilakukannya suatu perbuatan oleh mukallaf
atau melarang mengerjakannya atau disuru memilih antara melakukan atau
meninggalkannya. hukum wadh’I ialah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai seatu
sebab adanya yang lain, atau syarat bagi sesuatu yang lain atau sebagai sesuatu
yang lain. Yang dimaksud dengan mahkum
fih ialah perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum syara’.
Sedangkan yang dimaksud dengan mahkum
alaih ialah mukallaf yang mendapatkan khitab dari Allah dimana perbuatannya
berhubungan dengan hukum syariat.
Daftar Pustaka
Khallaf, Abdul Wahab . 2000 . Ilmu ushul fiqih ( kaidah-kaidah hokum
Islam ) . Jakarta : Grafindo Persada .
Shidik, Safiudin . 2009. Ushul Fiqih . Jakarta : PT.Intimedia cipta Nusantar .
Zahra, Muhammad Abu . 1959 . Ushul Fiqih . Beirut : Dar al-Fikr al-Araby .
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda